Pada bahasan kali ini, penulis akan berbagi cerita pribadi yang mungkin dapat menjadi pembelajaran tersendiri bagi pembaca.
Pada artikel ini penulis akan menceritakan pengalaman pribadi semasa sekolah dulu (residensi) sebelum menjadi dokter spesialis anak dari sudut pandang saya.
Jadi dokter residen ada jadwal jaga IGD, residen anak berarti jaga IGD untuk kasus-kasus anak, berarti mulai dari 0 sampai 18 tahun. Suatu saat saya ingat harinya senin, saya jaga IGD pagi, seharian tidak ada pasien masuk IGD, tapi 15 menit sebelum jam 4 sore, waktu pergantian jaga, tiba-tiba dokter triase mengabarkan ada pasien gawat level 1 alias gawat ada di ruang resusitasi.
Saya duluan masuk ke ruang resusitasi, disusul oleh senior saya yang sebelumnya juga sedang bersiap-siap untuk pulang istirahat di rumah. Setiap kali pasien masuk, dokter akan otomatis memeriksan penampakan luar dari pasien tersebut untuk bisa melakukan evaluasi awal kondisi pasien, dan penampakan pasien yang baru datang sore itu sungguh merupakan mimpi buruk yang jadi kenyataan buat residen junior seperti saya, mimpi buruk menghadapi pasien dengan kegawatan di ujung kematian, mimpi buruk di senin sore yang terjadi di luar perkiraan.
Pasien A, laki-laki, usia sekitar 8-9 tahun, dengan berat sekitar 25-30 kg, tampak kuning sekujur tubuh, dengan kondisi saat masuk IGD kejang general tonik-klonik, kondisi pasien tampak sangat toksik, tampak sudah sakit paling tidak sejak 4-5 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit.
Instruksi dari senior saya terdengar jelas untuk mengambil obat. Di ruang resusitasi sudah tersedia obat-obatan emergency, sehingga saya tinggal memasukan obat sesuai dengan instruksi yang diberikan.
Ditengah-tengah waktu perawat memasang akses vena dan saya mengatur infused pump untuk pemberian obat anti kejang, mimpi buruk kedua terjadi. Dalam kondisi masih kejang, darah keluar dari mulut pasien, bukan hanya keluar, tapi menyembur ke segala arah. Setelah hening sejenak beberapa detik, seolah semua orang di ruangan tersebut dalam waktu bersamaan diam mencerna apa yang baru saja terjadi, kondisi ruang resusitasi lalu berubah chaos kacau bukan main.
Instruksi senior, teriakan perawat, tangisan orang tua, campur jadi satu. 30 menit kemudian berlalu, pasien tidak tertolong. Saya pun harus menghampiri orang tua pasien untuk mengucapkan 10 kata paling tragis dan paling saya tidak suka untuk diucapkan sebagai seorang dokter.
“Pak, bu, maaf, adek sudah tidak terselamatkan lagi, sudah meninggal.”
Ada dua hal yang saya tanyakan kepada orang tua tentang riwayat penyakit pasien.
- Yang pertama, ada sakit apa pasien sebelum ini.
- Yang kedua, obat apa yang sempat diberikan kepada pasien.
Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut menguatkan dugaan kami selanjutnya tentang apa yang terjadi pada tubuh pasien. 1 minggu yang lalu pasien sempat mengalami demam, disertai batuk pilek, anak masih aktif masih bisa sekolah, masih bisa main di rumah. Saat demam, oleh orang tua pasien dibelikan obat warung yang dijual di kelontong dekat rumah. Saya membalikkan badan ke arah belakang tempat senior saya berdiri sejak tadi memperhatikan komunikasi saya dengan ayah pasien.
“REYE SYNDROME” ITU KALIMAT YANG SAYA SAMPAIKAN
Sindrom Reye adalah kumpulan gejala penyakit yang diakibatkan oleh kerusakan hati yang cukup masif. Ada dua kombinasi yang selama ini dicurigai menjadi penyebab utama Sindrom Reye, infeksi virus plus obat asetilsalisilat. Infeksi virusnya tidak perlu yang berat-berat, infeksi virus yang ringan, demam batuk pilek biasa yang diobati dengan asetilsalisilat atau yang biasa dikenal dengan aspirin, cukup untuk meningkatkan kemungkinan anak terkena sindrom reye. Dua kombinasi hal tersebut dapat merusak mitokondria dalam sel hati, yang pada akhirnya membuat hati rusak parah. Padahal hati krusial untuk berbagai macam fungsi vital tubuh. Saat sindrom reye terjadi, toksin dalam tubuh tidak dapat tersaring di hati, amonia dalam tubuh menumpuk, sampai ke otak menyebabkan otaknya bengkak, anak pun kejang dan tak sadarkan diri. Hati juga memiliki fungsi penting dalam proses pembekuan darah, karena hatinya rusak, perdarahan jadi mudah terjadi, maka dari itu pasiennya muntah darah.
LANTAS OBAT APA YANG DIBERIKAN ORANG TUA ANAK TERSEBUT?
Kalo bertanya apakah anak dikasih asetilsalisilat pasti orang tua bingung, makanya saya tanya, apakah obat warung ya diberikan adalah bodrexin?
Jawabannya iya, diberikan bodrexin. Bodrexin yang dijual bebas di warung-warung itu mengandung asetilsalisilat alias aspirin.
Jadi setiap mau ngasih obat demam buat anak, jangan cuman asal nanya ke yang punya warung atau apotek, ada obat demam atau tidak. Harus dicek dulu isinya apa. Setiap merk biasanya tertulis kandungan obatnya apa. Obat buat anak demam (suhu di atas 38 C) yang cukup aman untuk sebagian besar anak hanya parasetamol atau ibuprofen. Kalo anak cuman demam, udah itu aja cukup.
Beberapa obat yang suka asal langsung dikasihkan ke anak tiap demam tanpa tanya ke dokter adalah sebagai berikut
- Asetilsalisilat/aspirin (bodrexin dan semacamnya)
- Amoxicilin atau antibiotik lainnya
- Efedrin, pseudoefedrin (lapifed, alco, rhinos dan semacamnya)
Selalu diingat bahwa mengobati anak itu berbeda dengan mengobati orang dewasa. Perlu kehati-hatian ekstra. Semoga kejadian dari pasien saya tadi bisa dijadikan pelajaran untuk kita semua dalam merawat anak-anak kita. Amin
Photo by Freepik.